HADITS AHAD : Menurut Istilah ahli hadits, tarif Hadits Ahad antara laian adalah:
Iaitu suatu hadits (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadits mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahawa hadits tersebut masuk ke dalam Hadits Mutawatir.
Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut: "Suatu hadits yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir."
FAEDAH HADITS AHAD .
Para ulama sependapat bahawa Hadits Ahad tidak Qat'i, sebagaimana Hadits Mutawatir. Hadits Ahad hanya memebei faedah secara zan, oleh kerana itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahawa, hadits tersebut tidak tertolak, dalam erti maqbul, maka mereka sepakat bahawa hadits tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadits mutawatir.
Neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan mana-mana hadits, ialah memeriksa "Apakah hadits tersebut maqbul (diterima) atau mardud (ditolak)". Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.
Kemudian apabila telah nyata bahawa hadits itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadits itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita letakkan sebagai hadits mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita anggap sebagai nasikh.
Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan mentarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, tawaqquflah ( tunggu) dahulu.
Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadits, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.
KUALITI SANAD DAN MATAN HADITS
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan sesuatu hadits bergantung kepada tiga hal, iaitu jumlah rawi, keadaan (kualiti) rawi, dan keadaan matan. Ketiga-tiga hal tersebut menentukan tinggi-rendahnya suatu hadits. Bila dua buah hadits menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.
Jika dua buah hadits memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadits yang diriwayatkan oleh rawi pendusta. Sebagaimana mereka membuat penialain terhadap ayat al-Qur’an:
Ertinya: "Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan." (QS. Al-A’raf : 155)
Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat pulu orang, bahkan ada yang membatasi cukup dengan empat orang pertimbangan bahawa saksi zina itu ada empat orang.
Kata-kata (dari sejumlah rawi yang seumpamanya dan seterusnya sampai akhir sanad) mengecualikan Hadits Ahad yang pada sebahagian tingkatannya terkadang diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir.
CONTOH HADITS
Ertinya :"Sesungguhnya amal-perbuatan itu tergantung pada niatnya."
Awal hadits tersebut adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir. Maka hadits yang demikian bukan termsuk hadits mutawatir.
Kata-kata (dan sandaran mereka adalah pancaindera) seperti sikap dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para sahabat menyatakan; "kami melihat Nabi SAW berbuat begini". Dengan demikian mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal, seperti pernyataan tentang keesaan firman Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan bahawa satu itu separuhnya dua. Hal ini berlaku kerana yang menjadi pertimbangan adalah akal bukan berita.
Bila dua hadits memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadits yang matannya seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya dari hadits yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-quran.
Tingkatan (martabat) hadits ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau palsunya hadits berasal dari Rasulullah s.a.w..
Hadits yang tinggi tingkatannya bererti hadits yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf dugaan tentang benarnya hadits itu berasal Rasulullah SAW. Hadits yang rendah tingkatannya bererti hadits yang rendah taraf kepastiannya atau taraf dugaan tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW.
Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadits menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadits sebagai sumber hukum atau sumber Islam.
BAHAGIAN HADITS AHAD
Para ulama membahagi Hadits Ahad kepada tiga tingkatan, iaitu Hadits Sahih, Hadits Hasan, dan Hadits Daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan; jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan matan dalam menentukan pembahagian hadits-hadits tersebut menjadi Hadits Sahih, Hadits Hasan, atau Hadits Daif.
Iaitu suatu hadits (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadits mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahawa hadits tersebut masuk ke dalam Hadits Mutawatir.
Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut: "Suatu hadits yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir."
FAEDAH HADITS AHAD .
Para ulama sependapat bahawa Hadits Ahad tidak Qat'i, sebagaimana Hadits Mutawatir. Hadits Ahad hanya memebei faedah secara zan, oleh kerana itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahawa, hadits tersebut tidak tertolak, dalam erti maqbul, maka mereka sepakat bahawa hadits tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadits mutawatir.
Neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan mana-mana hadits, ialah memeriksa "Apakah hadits tersebut maqbul (diterima) atau mardud (ditolak)". Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.
Kemudian apabila telah nyata bahawa hadits itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadits itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita letakkan sebagai hadits mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita anggap sebagai nasikh.
Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan mentarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, tawaqquflah ( tunggu) dahulu.
Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadits, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.
KUALITI SANAD DAN MATAN HADITS
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan sesuatu hadits bergantung kepada tiga hal, iaitu jumlah rawi, keadaan (kualiti) rawi, dan keadaan matan. Ketiga-tiga hal tersebut menentukan tinggi-rendahnya suatu hadits. Bila dua buah hadits menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.
Jika dua buah hadits memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadits yang diriwayatkan oleh rawi pendusta. Sebagaimana mereka membuat penialain terhadap ayat al-Qur’an:
Ertinya: "Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan." (QS. Al-A’raf : 155)
Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat pulu orang, bahkan ada yang membatasi cukup dengan empat orang pertimbangan bahawa saksi zina itu ada empat orang.
Kata-kata (dari sejumlah rawi yang seumpamanya dan seterusnya sampai akhir sanad) mengecualikan Hadits Ahad yang pada sebahagian tingkatannya terkadang diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir.
CONTOH HADITS
Ertinya :"Sesungguhnya amal-perbuatan itu tergantung pada niatnya."
Awal hadits tersebut adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir. Maka hadits yang demikian bukan termsuk hadits mutawatir.
Kata-kata (dan sandaran mereka adalah pancaindera) seperti sikap dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para sahabat menyatakan; "kami melihat Nabi SAW berbuat begini". Dengan demikian mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal, seperti pernyataan tentang keesaan firman Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan bahawa satu itu separuhnya dua. Hal ini berlaku kerana yang menjadi pertimbangan adalah akal bukan berita.
Bila dua hadits memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadits yang matannya seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya dari hadits yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-quran.
Tingkatan (martabat) hadits ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau palsunya hadits berasal dari Rasulullah s.a.w..
Hadits yang tinggi tingkatannya bererti hadits yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf dugaan tentang benarnya hadits itu berasal Rasulullah SAW. Hadits yang rendah tingkatannya bererti hadits yang rendah taraf kepastiannya atau taraf dugaan tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW.
Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadits menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadits sebagai sumber hukum atau sumber Islam.
BAHAGIAN HADITS AHAD
Para ulama membahagi Hadits Ahad kepada tiga tingkatan, iaitu Hadits Sahih, Hadits Hasan, dan Hadits Daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan; jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan matan dalam menentukan pembahagian hadits-hadits tersebut menjadi Hadits Sahih, Hadits Hasan, atau Hadits Daif.
No comments:
Post a Comment