BANI QURAYZAH

BANI QURAYZAH : Iaitu golongan Yahudi yang berada di Madinah yang merupakan sekutu Qabilah Aus dan telah membuat tali persahabatan dan perjanjian damai dengan kaum Muslimin. Namun mereka mengkhianatinya, di mana mereka telah membuat pakatan dan membantu orang-orang kafir Quraisy untuk memerangi Rasulullah sollallaahu ‘alaihi wasallam dan kaum Muslimin dalam peperangan Ahzab.

Selepas kemenangan dalam peperangan Ahzab, Allah mewahyukan kepada Rasulullah sollallaahu ‘alaihi wasallam agar memerangi mereka yang berbuat khianat. Akhirnya mereka dapat ditawan dan dijatuhi hukuman mati bagi semua lelaki. Manakala perempuan-perempuan dan kanak-kanak dijadikan tawanan perang dan harta mereka dijadikan harta Ghanimah (harta rampasan perang). Hukuman ini dijatuhkan oleh ketua mereka sendiri yang telah memeluk agama Islam iaitu Sa’ad bin Mu’adz. Peristiwa ini berlaku pada tahun kelima hijrah.

BANI AL-NADIR

BANI AL-NADIR : Ianya satu golongan Yahudi yang merupakan sekutu Qabilah Khazraj. Mereka tinggal berhampiran kota Madinah (Yathrib – pada masa seleum Rasululah sollallaahu ‘alaihi wasallam). Mereka memeterai perjanjian dengan kaum muslimin yang memberikan jaminan keselamatan di antara mereka. Namun mereka mengkhianatinya.

Disebabkan pengkhianatan mereka terhadap Rasulullah sollallaahu ‘alaihi wasallam dan kaum muslimin, mereka diperangi dan diusir dari kota Madinah. Peperangan antara kaum Muslim dengan Yahudi Bani al-Nadir ini dinamakan Peperangan Bani Al-Nadir yang berlaku pada tahun keempat hijrah.

IBNU MAJAH

Ibnu Majah atau nama sebenarnya Abu Abdillah Muhammad bin Yazid merupakan seorang ahli hadits, ahli tafsir dan ahli sejarah Islam yang terkenal dalam sejarah peradaban Islam. Lahir pada tahun 209 Hijrah bersamaan 824 Masehi, dan meninggal dunia pada 20 Ramadan 273 bersamaan 18 Februari 887.


Karyanya


Karya utamanya dalam bidang hadits adalah Sunan Ibn Majah yang dikenal sebagai salah satu dari enam kitab kumpulan hadits yang terkenal dengan julukan al-Kutub as-Sittah (Kitab Yang Enam). Lima kitab hadits yang lain dari kumpulan tersebut adalah Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmizi , dan Sunan an-Nasa’i.
Ibnu Majah mula belajar sejak beliau masih muda lagi. Ada yang mengatakan bahawa beliau belajar hadits sejak berusia 15 tahun daripada seorang guru bernama Ali bin Muhammad at-Tanafasi.

Pada usia 21 tahun dia mula mengembara untuk menulis dan mengumpulkan hadits. Negeri-negeri yang pernah dikunjunginya untuk tujuan itu di antaranya adalah Teheran, Basrah, Kufah, Baghdad, Khurasan, Syria, dan Mesir.

Dengan cara tersebut, dia telah mendapatkan hadits-hadits dari ulamak terkenal di kota-kota dan negeri-negeri tersebut seperti Abu Bakar bin Abi Syaibah, Hisyam bin Ammar, Basyar bin Adam dan lain-lain lagi.

Ibnu Majah telah menyusun kitab dalam berbagai cabang ilmu. Dalam bidang tafsir, ia menulis Tafsir al-Quran al-Karim. Ia juga menulis at-Tarikh, karya sejarah yang berisi biografi para periwayat hadits sejak awal hingga pada zamannya. Kerana tidak begitu popular, kedua-dua kitab tersebut ada kemungkinan tidak sampai ke tangan generasi sekarang. Karyanya yang paling masyhur adalah dalam bidang hadits, iaitu as-Sunan atau dikenal juga dengan Sunan Ibnu Majah.

Muhammad Fuad Abdul Baqi, penulis buku al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Quran (Indeks al-Quran), telah memperinci hadits-hadits yang terdapat dalam kitab ini. Ada 4341 hadits di dalamnya. Sejumlah 3002 di antaranya juga termaktub dalam lima kitab kumpulan hadits yang lain.

Sebanyak 712 dari 1339 lainnya adalah lemah, yang dapat dikategorikan sebagai hadits dusta. Kerana banyaknya hadits yang lemah itu, sebelum abad ke-4 H para ulama belum memasukkannya sebagai kitab yang dijadikan standard yang layak menjadi panduan dan rujukan.

Orang yang pertama sekali memasukkan kitab karangan Ibn Majah ke dalam kitab-kitab kumpulan hadits sahih sehingga termasuk dalam kitab yang enam adalah Abu al-Fadal Muhammad bin Tahir al-Maqdisi.

Pada pertengahan kedua abad ke-7 H, setelah hadits-hadits telah banyak terhimpun dalam kitab-kitab, usaha yang ditempuh ulama hadits adalah menerbitkan isi kitab-kitab kumpulan hadits itu, menyunting dan menyusun kitab-kitab takhrij (keluar) serta membuat kitab-kitab Jami’ (Penghimpun) yang umum.

Di antara kitab-kitab yang disusun pada peringkat ini adalah kitab-kitab zawa’id, yang terkenal di antaranya adalah kitab Zawa’id Ibnu Majah. Kitab ini disusun oleh Abu Ahmad bin Muhammad al-Busiri dalam kitab yang berjudul Misbah az-Zujajah fi Zawa’id Ibn Majah (Lampu Kaca dalam Tulisan Ibnu Majah). Hadits-hadits yang hanya diriwayatkan sendiri oleh Ibnu Majah seperti tersebut di atas kebanyakannya dhaif (lemah).

Hal ini dapat diketahui daripada keterangan-keterangan gurunya, Ibnu Mulaqqin, dalam kitabnya yang berjudul Ma Tamussu Ilaihi al-Hajah ala Sunan Ibn Majah (Apa Yang Diperlukan dalam Sunan Ibnu Majah).

Sebagaimana kitab-kitab kumpulan hadits lainnya, kitab-kitab syarah (penafsiran) Sunan Ibn Majah juga banyak muncul pada abad-abad sesudahnya. Di antara kitab-kitab syarah itu adalah Misbah az-Zujajah Syarh Sunan Ibn Majah susunan as-Sayuti dan Syarh Sunan Ibn Majah (Penjelasan tentang Kitab Sunan Ibnu Majah) susunan Muhammad Abdul Hadi as-Sindi.

Dipetik dari: http://ummatanwasatan.net/?p=5, tulisan Napisah Zakaria.

IMAM ABU DAUD

Abu Daud atau nama lengkapnya ialah Sulaiman bin al-Asy'as bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin 'Amr al-Azdi as-Sijistani, seorang imam ahli hadits yang sangat teliti. Tokoh terkemuka para ahli hadits setelah dua imam hadits Bukhari dan Muslim serta pengarang kitab Sunan Abu Daud. Ia dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan.

Sejak kecilnya Abu Daud sudah mencintai ilmu dan para ulama, bergaul dengan mereka untuk menikmati dan menimba ilmunya. Belum lagi mencapai usia dewasa, ia telah mempersiapkan dirinya untuk melakukan perantaun , mengelilingi berbagai negeri. Ia belajar hadits dari para ulama yang tidak sedikit jumlahnya, yang dijumpainya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri-negeri lain.

Merantau ke berbagai negeri ini membantunya untuk memperoleh pengetahuan luas tentang hadits, kemudian hadits-hadits yang diperolehnya itu disaring dan hasil penyaringannya dikumpul dalam kitab As-Sunan. Abu Daud mengunjungi Baghdad berkali-kali. Di sana ia mengajarkan hadits dan fiqh kepada para penduduk Baghdad dengan menggunakan kitab Sunan sebagai pegangannya. Kitab Sunan karyanya itu diperlihatkannya kepada tokoh ulama hadits, Ahmad bin Hanbal.

Dengan bangga Imam Ahmad memujinya sebagai kitab yang sangat indah dan baik. Kemudian Abu Daud menetap di Basrah atas permintaan gabenor setempat yang menghendaki supaya Basrah menjadi "Ka'bah" bagi para ilmuwan dan peminat hadits.


Guru-gurunya

Para ulama yang menjadi guru Imam Abu Daud banyak jumlahnya. Di antaranya guru-guru yang paling terkemuka ialah Ahmad bin Hanbal, al-Qa'nabi, Abu 'Amr ad-Darir, Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin Raja', Abu'l Walid at-Tayalisi dan lain-lain. Sebahagian gurunya ada pula yang menjadi guru Imam Bukhari dan Imam Muslim, seperti Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abi Syaibah dan Qutaibah bin Sa'id.


Murid-muridnya (Para Ulama yang Mewarisi Haditsnya)

Ulama-ulama yang mewarisi haditsnya dan mengambil ilmunya, antara lain Abu 'Isa at-Tirmidzi, Abu Abdur Rahman an-Nasa'i, putranya sendiri Abu Bakar bin Abu Daud, Abu Awanah, Abu Sa'id al-A'rabi, Abu Ali al-Lu'lu'i, Abu Bakar bin Dassah, Abu Salim Muhammad bin Sa'id al-Jaldawi dan lain-lain.

Cukuplah sebagai bukti pentingnya Abu Daud, bahawa salah seorang gurunya, Ahmad bin Hanbal pernah meriwayatkan dan menulis sebuah hadits yang diterima daripadanya. Hadits tersebut ialah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, dari Hammad bin Salamah dari Abu Ma'syar ad-Darami, dari ayahnya, sebagai berikut: "Rasulullah sollallaahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang 'atirah, maka ia menilainya baik."


Akhlak dan Sifat-sifatnya yang Terpuji

Abu Daud adalah salah seorang ulama yang mengamalkan ilmunya dan mencapai darjat tinggi dalam ibadah, kesucian diri, wara' dan soleh. Ia adalah seorang muslim mukmin yang patut diteladani perilaku, ketenangan jiwa dan keperibadiannya. Sifat-sifat Abu Daud ini telah diungkapkan oleh sebahagian ulama dengan menyatakan:
"Abu Daud menyerupai Ahmad bin Hanbal dalam perilakunya, ketenangan jiwa dan kebagusan pandangannya serta keperibadiannya.

Ahmad dalam sifat-sifat ini menyerupai Waki', Waki menyerupai Sufyan as-Sauri, Sufyan menyerupai Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim an-Nakha'i, Ibrahim menyerupai 'Alqamah dan Alqamah menyerupai Ibn Mas'ud. Sedangkan Ibn Mas'ud sendiri menyerupai Nabi sollallaahu ‘alaihi wasallam dalam sifat-sifat tersebut." Sifat dan keperibadian yang mulia seperti ini menunjukkan atas kesempurnaan beragama, tingkah laku dan akhlak.

Abu Daud mempunyai pandangan dan falsafah sendiri dalam cara berpakaian. Salah satu lengan bajunya lebar namun yang satunya lebih kecil dan sempit. Seseorang yang melihatnya bertanya tentang hal ini, ia menjawab: "Lengan baju yang lebar ini digunakan untuk membawa kitab-kitab, sedang yang satunya lagi tidak diperlukan. Jadi, kalau dibuat lebar, hanyalah berlebih-lebihan.


Pujian Para Ulama Kepadanya

Abu Daud juga merupakan "Panji Islam" dan seorang hafiz yang sempurna, ahli fiqh dan berpengetahuan luas terhadap hadits dan ilat-ilatnya (kecacatannya). Ia memperoleh penghargaan dan pujian dari para ulama, terutama dari gurunya sendiri, Ahmad bin Hanbal. Al-Hafiz Musa bin Harun berkata mengenai Abu Daud:

"Abu Daud diciptakan di dunia hanya untuk hadits, dan di akhirat untuk syurga. Aku tidak melihat orang yang lebih utama melebihi dia."

Sahal bin Abdullah At-Tistari, seorang yang alim mengunjungi Abu Daud. Lalu dikatakan kepadanya: "Ini adalah Sahal, datang berkunjung kepada tuan. "Abu Daud pun menyambutnya dengan hormat dan mempersilakan duduk. Kemudian Sahal berkata: "Wahai Abu Daud, saya ada keperluan kepadamu." Ia bertanya: "Keperluan apa?" "Ya, akan saya utarakan nanti, asalkan engkau berjanji akan memenuhinya sedapat mungkin," jawab Sahal. "Ya, aku penuhi maksudmu selama aku mampu," jawab Abu Daud.

Lalu Sahal berkata: "Jujurkanlah lidahmu yang engkau pergunakan untuk meriwayatkan hadits dari Rasulullah sollallaahu ‘alaihi wasallam sehingga aku dapat menciumnya." Abu Daud pun lalu menjulurkan lidahnya yang kemudian dicium oleh Sahal.

Ketika Abu Daud menyusun kitab Sunan, Ibrahim al-Harbi, seorang ulama ahli hadits berkata: "Hadits telah dilunakkan bagi Abu Daud, sebagaimana besi dilunakkan bagi Nabi Daud." Ungkapan ini adalah kata-kata simbolik dan perumpamaan yang menunjukkan atas keutamaan dan keunggulan seseorang di bidang penyusunan hadits. Ia telah mempermudah yang sulit, mendekatkan yang jauh dan memudahkan yang masih rumit dan pelik.

Abu Bakar al-Khallal, ahli hadits dan fiqh terkemuka yang bermazhab Hanbali, menggambarkan Abu Daud sebagai berikut; Abu Daud Sulaiman bin al-Asy'as, imam terkemuka pada zamannya adalah seorang tokoh yang telah menggali beberapa bidang ilmu dan mengetahui tempat-tempatnya, dan tiada seorang pun pada masanya yang dapat mendahului atau menandinginya. Abu Bakar al-Asbihani dan Abu Bakar bin Sadaqah sentiasa menyinggung-nyingung Abu Daud kerana ketinggian darjatnya, dan selalu menyebut-nyebutnya dengan pujian yang tidak pernah mereka berikan kepada siapa pun pada masanya.


Mazhab Fiqh Abu Daud

Syaikh Abu Ishaq asy-Syairazi dalam asy-Syairazi dalam Tabaqatul-Fuqaha-nya menggolongkan Abu Daud ke dalam kelompok murid-murid Imam Ahmad. Demikian juga Qadi Abu'l-Husain Muhammad bin al-Qadi Abu Ya'la (wafat 526 H) dalam Tabaqatul-Hanabilah-nya. Penilaian ini nampaknya disebabkan oleh Imam Ahmad merupakan gurunya yang istimewa. Menurut satu pendapat, Abu Daud adalah bermazhab Syafi'i. Menurut pendapat yang lain, ia adalah seorang mujtahid sebagaimana dapat dilihat pada gaya susunan dan sistematik Sunannya. Lebih-lebih lagi kemampuan berijtihad merupakan salah satu sifat khas para imam hadits pada masa sebelumnya.


Memandang Tinggi Kedudukan Ilmu dan Ulama

Sikap Abu Daud yang memandang tinggi terhadap kedudukan ilmu dan ulama ini dapat dilihat pada kisah berikut sebagaimana dituturkan, dengan sanad lengkap, oleh Imam al-Khattabi, dari Abu Bakar bin Jabir, pembantu Abu Daud. Ia berkata:

"Aku bersama Abu Daud tinggal di Baghdad. Pada suatu waktu, ketika kami selesai menunaikan solat Maghrib, tiba-tiba pintu rumah diketuk orang, lalu aku membukanya dan seorang hambanya melaporkan bahawa Amir Abu Ahmad al-Muwaffaq mohon izin untuk masuk. Kemudian aku melapor kepada Abu Daud tentang tetamu ini, dan ia pun mengizinkan. Amir pun masuk, lalu duduk. Tak lama kemudian Abu Daud menemuinya seraya berkata: "Gerangan apakah yang membawamu datang ke sini pada saat seperti ini?"

"Tiga kepentingan," jawab Amir. "Kepentingan apa?" tanyanya. Amir menjelaskan, "Hendaknya tuan berpindah ke Basrah dan menetap di sana, supaya para penuntut ilmu dari berbagai penjuru dunia datang belajar kepada tuan; dengan demikian Basrah akan makmur kembali. Ini mengingatkan bahawa Basrah telah hancur dan ditinggalkan orang akibat tragedi Zenji."

Abu Daud berkata: "Itu yang pertama, sebutkan yang kedua!"

"Hendaknya tuan berkenan mengajarkan kitab Sunan kepada putera-puteraku," kata Amir.

"Ya, ketiga?" Tanya Abu Daud kembali.

Amir menerangkan: "Hendaknya tuan mengadakan majlis tersendiri untuk mengajarkan hadits kepada putera-putera khalifah, sebab mereka tidak mahu duduk bersama-sama dengan orang awam."

Abu Daud menjawab: "Permintaan ketiga tidak dapat aku penuhi; sebab manusia itu baik yang terhormat mahupun rakyat melarat, dalam bidang ilmu sama sahaja."

Ibn Jabir menjelaskan: "Maka sejak itu putera-putera khalifah hadir dan duduk bersama di majlis ta’lim; hanya saja di antara mereka dengan orang awam di pasang tirai, dengan demikian mereka dapat belajar bersama-sama."

Maka hendaknya para ulama tidak mendatangi para raja dan penguasa, tetapi merekalah yang harus datang kepada para ulama. Dan kesamaan darjat dalam ilmu dan pengetahuan ini, hendaklah dikembangkan sebagaimana yang telah dilakukan Abu Daud tersebut.



Kematiannya.


Setelah mengalami kehidupan penuh berkat yang diisi dengan aktiviti ilmiah, menghimpun dan menyebarluaskan hadits, Abu Daud meninggal dunia di Basrah yang dijadikannya sebagai tempat tinggal atas permintaan Amir sebagaimana telah diceritakan. Ia wafat pada tanggal 16 Syawwal 275 H/889M.


Karya-karyanya

Imam Abu Daud banyak memiliki karya, antara lain:

1. Kitab as-Sunan (Sunan Abu Daud).
2. Kitab al-Marasil.
3. Kitab al-Qadar.
4. An-Nasikh wal-Mansukh.
5. Fadha'il al-A'mal.
6. Kitab Az-Zuhd.
7. Dalaa'ilun Nubuwah.
8. Ibtidaa' il-Wahyu.
9. Ahbar al-Khawarij.

Di antara karya-karya tersebut yang paling bernilai tinggi adalah Sunan Abi Daud.


Metode Penyusunan Sunannya

Karya-karya di bidang hadits, kitab-kitab Jami' Musnad dan sebagainya disamping berisi hadits-hadits hukum, juga memuatkan hadits-hadits yang berkenaan dengan amal-amal yang terpuji (fada'ilul amal) kisah-kisah, nasihat-nasihat (mawa'iz), adab dan tafsir.

Abu Daud menyusun kitabnya, khusus hanya memuat hadits-hadits hukum dan sunnah-sunnah yang menyangkut hukum. Ketika selesai menyusun kitabnya itu kepada Imam Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Hanbal memujinya sebagai kitab yang indah dan baik.

Abu Daud dalam sunannya tidak hanya mencantumkan hadits-hadits sahih semata-mata sebagaimana yang telah dilakukan Imam Bukhari dan Imam Muslim, tetapi ia memasukkan pula kedalamnya hadits sahih, hadits hasan, hadits dha'if yang tidak terlalu lemah dan hadits yang tidak disepakati oleh para imam untuk ditinggalkannya. Hadits-hadits yang sangat lemah, dijelaskan kelemahannya.

Cara yang diterapkan dalam kitabnya itu dapat diketahui dari suratnya yang ia kirimkan kepada penduduk Makkah sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan mereka mengenai kitab Sunannya. Abu Daud menulis:

"Aku mendengar dan menulis hadits Rasulullah sollallaahu ‘alaihi wasallam sebanyak 500,000hadits. Dari jumlah itu, aku memilih sebanyak 4,800 hadits yang kemudian aku tuliskan dalam kitab Sunan ini. Dalam kitab tersebut aku himpun hadits-hadits sahih, semi sahih dan yang mendekati sahih. Dalam kitab itu aku tidak mencantumkan sebuah hadits pun yang telah disepakati oleh orang ramai untuk ditinggalkan. Segala hadits yang mengandung kelemahan yang melampau, aku perjelaskan, kerana hadits seperti ini ada yang tidak sahih sanadnya.

Adapun hadits yang tidak kami beri penjelasan sedikit pun, maka hadits tersebut bernilai sahil, dan sebahagian dari hadits yang sahih ini ada yang lebih sahih daripada yang lain. Kami tidak mengetahui sebuah kitab, sesudah al-Qur'an, yang harus dipelajari selain daripada kitab ini.

Empat buah hadits saja dari kitab ini sudah cukup menjadi pegangan setiap orang. Hadits tersebut adalah:

Pertama: "Segala amal itu hanyalah menurut niatnya, dan tiap-tiap orang memperoleh apa yang ia niatkan. Kerana itu maka barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya pula. Dan barang siapa hijrahnya kerana untuk mendapatkan dunia atau kerana perempuan yang ingin dikahwininya, maka hijrahnya hanyalah kepada apa yang dia hijrah kepadanya itu."

Kedua: "Termasuk kebaikan Islam seseorang itu ialah meninggalkan apa yang tidak berguna baginya."

Ketiga: "Tidaklah seseorang beriman menjadi mukmin sejati sebelum ia merelakan untuk saudaranya apa-apa yang ia rela untuk dirinya."

Keempat: "Yang halal itu sudah jelas, dan yang haram pun telah jelas pula. Di antara keduanya terdapat hal-hal syubhat (atau samar) yang tidak diketahui oleh kebanyakkan orang. Barang siapa menghindari syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatan dirinya; dan barang siapa terjerumus ke dalam syubhat, maka ia telah terjerumus ke dalam perbuatan haram, ibarat penggembala yang menggembalakan ternaknya di tempat terlarang. Ketahuilah, sesungguhnya setiap penguasa itu mempunyai larangan. Ketahuilah, sesungguhnya larangan Allah adalah segala yang diharamkan-Nya. Ingatlah, di dalam tubuh ini terdapat sepotong daging, jika ia baik, maka baik pulalah semua tubuh dan jika rosak maka rosak pula seluruh tubuh. Ketahuilah, ia adalah hati."

Demikianlah penegasan Abu Daud dalam suratnya. Perkataan Abu Daud itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

Hadits pertama adalah ajaran tentang niat dan keikhlasan yang merupakan asas utama bagi semua amal perbuatan diniah dan duniawiah.

Hadits kedua merupakan tuntunan dan dorongan bagi umat Islam agar selalu melakukan setiap perkara yang bermanfaat bagi agama dan dunia.

Hadits ketiga, mengatur tentang hak-hak keluarga dan jiran tetangga, berlaku baik dalam pergaulan dengan orang lain, meninggalkan sifat-sifat ego dan sombong, dan membuang sifat iri, dengki dan benci, dari hati masing-masing.

Hadits keempat merupakan dasar utama bagi pengetahuan tentang halal haram, serta cara memperoleh atau mencapai sifat wara', iaitu dengan cara menjauhi hal-hal musykil yang samar dan masih diperbahaskan status hukumnya oleh para ulama.

Dengan hadits ini nyatalah bahawa keempat hadits di atas, secara umum, telah cukup untuk membawa dan menciptakan kebahagiaan.


Komen Para Ulama Mengenai Kitab Sunan Abu Daud

Ramai kalangan ulama yang memuji kitab Sunan ini. Hujjatul Islam, Imam Abu Hamid al-Ghazali berkata: "Sunan Abu Daud sudah cukup bagi para mujtahid untuk mengetahui hadits-hadits ahkam." Demikian juga dua imam besar, An-Nawawi dan Ibnu al-Qayyim Al-Jauziyyah memberikan pujian terhadap kitab Sunan ini bahkan beliau menjadikan kitab ini sebagai pegangan utama di dalam pengambilan hukum.


Hadith-hadith Sunan Abu Daud yang Dikritik

Imam Al-Hafiz Ibnu al-Jauzi telah mengkritik beberapa hadits yang dicantumkan oleh Abu Daud dalam Sunannya dan melihatnya sebagai hadits-hadits maudhu' (palsu). Jumlah hadits tersebut sebanyak 9 buah hadith. Walaupun demikian, Ibnu al- Jauzi itu dikenali sebagai ulama yang terlalu mudah mengatakan "palsu", namun kritik-kritik telah ditanggapi dan sekaligus dibantah oleh sebahagian ahli hadits, seperti Jalaluddin as-Suyuti.

Dan andaikata kita menerima kritik yang dilontarkan Ibnu al-Jauzi tersebut, maka sebenarnya hadits-hadits yang dikritiknya itu sedikit sekali jumlahnya, dan hampir tidak ada pengaruhnya terhadap ribuan hadits yang terkandung di dalam kitab Sunan tersebut. Kerana itu kami melihat bahawa hadits-hadits yang dikritik tersebut tidak mengurangi sedikit pun nilai kitab Sunan sebagai rujukan utama yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.


Jumlah Hadits Sunan Abu Daud

Di atas telah disebutkan bahawa isi Sunan Abu Daud itu memuat hadits sebanyak 4,800 buah hadits. Namun sebahagian ulama ada yang menghitungnya sebanyak 5,274 buah hadits. Perbezaan jumlah ini kerana sebahagian orang yang menghitungnya memandang sebuah hadith yang diulang-ulang sebagai satu hadits, namun yang lain menganggapnya sebagai dua hadits atau lebih. Dua jalan periwayatan hadits atau lebih ini telah dikenal di kalangan ahli hadits.

Abu Daud membahagi kitab Sunannya menjadi beberapa kitab ( Kategori Tajuk ), dan tiap-tiap kitab dibahagi pula ke dalam beberapa bab. Jumlah kitab sebanyak 35 buah, di antaranya ada 3 kitab yang tidak dibahagi ke dalam bab-bab. Sedangkan jumlah bab sebanyak 1,871 buah bab.

Sumber:
1. Kitab Hadith Shahih yang Enam, Muhammad Muhammad Abu Syuhbah.
2. http://www.skdoj.net/index.php?option=com_content&view=article&id=186:sejarah-hidup-6-enam-tokoh-penghimpun-hadith&catid=72:artikel&limitstart=3 dengan sedikit pengubahsuaian bahasa agar mudah difahami.

MUT'AH

MUT’AH : Mut'ah dalam Mazhab Syafi'e bererti satu pemberian dari suami kepada isteri sewaktu ia menceraikannya.

(Nikah Mut’ah) Mut'ah dalam Mazhab Syiah merupakan salah satu jenis pernikahan yang diamalkan oleh mereka yang bermazhab Syiah. Pernikahan ini haram menurut Mazhab Maliki, Hanbali, Syafi’e dan Hanafi.

Mut’ah yang di ertikan sebagai pemberian ini adalah wajib diberikan sekiranya perceraian itu berlaku dengan kehendak suami, bukan kemahuan isteri. Banyaknya pemberian itu adalah berdasarkan kepada persetujuan atau keredhaan kedua-dua belah pihak, di samping mempertimbangkan keadaan kedua-duanya sama ada kaya atau miskin dan sebagainya, ianya tidak kurang dari separuh mahar. Pemberian ini adalah untuk menyenangkan hati isteri yang diceraikan.

Firman Allah: Ertinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya”. ( QS. al-Ahzab ayat 49)

SAHABAT RASULULLAH

SAHABAT RASULULLAH : Para sahabat Rasulullah sollallahu 'alaihi wasallam terdiri daripada:

1. Abbad ibn Bishr
2. Abdullah ibn Abbas
3. Abdullah ibn Amru
4. Abdullah ibn Hudhafah As-Sahmi
5. Abdullah ibn Jahsy
6. Abdullah ibn Mas'ud
7. Abdullah ibn Rawahah
8. Abdullah ibn Salam
9. Abdullah ibn Umar
10.Abdullah ibn Umm Maktum
11.Abdullah ibn Zubair
12.Abdur Rahman ibn Auf
13.Abu Ayyub al-Ansari
14.Abu Dzar al-Ghifari
15.Abu Musa Al-Asya'ari
16.Abu Hurairah
17.Abu Said Al-Khudri
18.Abu Sufyan ibn Al-Harits
19.Abu Ubaidah Al-Jarrah
20.Abu Darda'
21.Abul As ibn ar-Rabiah
22.Adi ibn Hatim
23.Ammar ibn Yasir
24.Amru Al-Ash
25.Amr ibn Jamuh
26.Anas ibn Malik al-Ansari
27.An-Nuayman bin Amr
28.At-Tufail ibn Amr ad-Dawsi
29.Aqil ibn Abi Thalib
30.Asma binti Abu Bakar
31.Barakah
32.Bara' ibn Malik al-Ansari
33.Bilal bin Rabah
34.Fairuz Ad-Dailami
35.Habib ibn Zaid al-Ansari
36.Hanzalah ibn Abu Umayr
37.Hajar ibn Adi
38.Hakim ibn Hazm
39.Hamzah bin Abdul Muttalib
40.Harits ibn Abdul Muthalib
41.Huzaifah Al-Yamani
42.Ikrimah ibn Abu Jahal
43.Ja'afar ibn Abi Thalib
44.Julaibib
45.Khabbab ibn al-Aratt
46.Khalid bin al-Walid
47.Miqdad Al-Aswad
48.Muaz ibn Jabal
49.Muawiyah ibn Abu Sufyan
50.Muhammad ibn Maslamah
51.Mus'ab ibn Umair
52.Nu'man ibn Muqarrin
53.Nu'man ibn Basyir
54.Nuaim ibn Mas'ud
55.Rabiah bin Ka'ab
56.Ramlah binti Abu Sufyan
57.Rumaysa binti Milhan
58.Sa'ad ibn Abi Waqqas
59.Sa'ad bin Ubadah
60.Sa'ad ibn Muaz
61.Said ibn Amir al-Jumahi
62.Said ibn Zayd
63.Salim Maula Abi Huzaifah
64.Salman Al-Farisi
65.Suhaib Ar-Rumi
66.Suhail ibn Amr
67.Talhah ibn Ubaidillah
68.Thabit ibn Qais
69.Thumamah ibn Uthal
70.Ubaidah al-Harits
71.Ubay ibn Ka'ab
72.Umair ibn Sa'ad al-Ansari
73.Umair ibn Wahab
74.Ummu Salamah
75.Uqbah ibn Amir
76.Usamah ibn Zaid
77.Utbah ibn Ghazwan
78.Uwais Al-Qarni
79.Zayd ibn Khatab
80.Zaid ibn Harithah
81.Zaid ibn Thabit
82.Zubair ibn Awwam

SOLAT ZAWAL

SOLAT ZAWAL ( صلاة زوال ) : Solat sunat 2 rakaat yang dikerjakan setelah gelincirnya matahari tanda masuknya waktu zohor. Ianya mesti dikerjakan sebelum Solat Sunat Qabliyyah Zohor (solat sunat sebelum zohor). Lafaz niatnya:


أصلى سنة الزوالِ ركعتين لله تعالى

Ertinya: " Sahaja aku menunaikan solat sunat Zawal dua rakaat kerana Allah Ta'ala".

DOA SOLAT DHUHA

Lihat : SOLAT DHUHA

AHLUL KITAB

AHLUL KITAB : Menurut pendapat Imam Syafi’e rahimahullah istilah Ahlul Kitab berasal dari dua kata Bahasa Arab yang tersusun dalam bentuk 'Idhafah' iaitu Ahlu dan al-Kitab. Ahlu bererti pemilik, sedangkan al-Kitab bererti Kitab Suci yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Musa dan Isa alihimassalam. Jadi, Ahlul Kitab bererti, “Pemilik Kitab Suci”, yakni para umat nabi yang diturunkan kepada mereka kitab suci (wahyu Allah).

Golongan Ahlul Kitab adalah mereka yang mengetahui kebenaran kitab yang mereka telaah dan hafal tetapi tidak beramal sebagaimana yang mereka tahu dari Al-Kitab. Sembelihan mereka juga halal dimakan manakala perempuan-perempuan mereka halal dinikahi.

Dalam hal ini Imam Syafi’i (w. 204 H) menegaskan bahawa yang dimaksud Ahlul Kitab hanya terbatas pada dua golongan saja, iaitu golongan Yahudi dan Nasrani dari Bani Israel. Sedangkan diluar Bani Israel, sekalipun beragama Yahudi atau Nasrani, menurut Imam Syafi’i, tidak termasuk Ahlul Kitab.

Imam Syafi’i berargumen bahawa Nabi Musa a.s dan Isa a.s hanya diutus untuk kaumnya, iaitu Bani Israel (hal ini menunjukkan bahawa objek seruan Nabi Musa a.s dan Nabi Isa a.s yang diutus hanya Bani Israel). (Tafsir Imam Syafi’i , vol. II,hlm. 56 )

Adapun agama Majusi (Zoroaster) , menurut Imam Syafi’i tidak termasuk dalam kategori Ahlul Kitab (Al-Umm : Vol.V, hlm. 405 ). Hal itu kerana Majusi tidak diturunkan kepadanya Kitab, dan juga tidak mengikuti salah satu dari agama Yahudi maupun Nasrani. Dengan demikian, kaum Muslim tidak dihalalkan menikmati makanan sembelihan orang-orang Majusi, dan tidak dapat pula mengawini wanita-wanita mereka, walaupun dalam masalah membayar jizyah ( pajak ), kedudukan Majusi dan Ahlul Kitab dianggap sama.

Ini disebabkan adanya pengecualian secara khusus, sebagaimana terdapat dalam hadist Nabi s.a.w yang diriwayatkan oleh imam Syafi’e, bahawa suatu ketika ditanyakan kepada Umar r.a. tentang perlakuan terhadap Majusi dalam masalah jizyah, Umar pun terdiam ( tawaquf ), kemudian datang kepadanya Abdurrahman bin Auf, seraya bersaksi, bahawa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda : “Perlakukanlah mereka ( kaum Majusi ) sama dengan perlakuan terhadap Ahl Al-Kitab.” Sementara ulama menyisipkan tambahan redaksi: “tanpa memakan sembelihan mereka, dan tidak juga mengahwini wanita mereka.” Hal ini juga dikuatkan oleh guru Imam Syafi’i iaitu Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwatththa, Bab Zakat, hadis ke-42.

Jadi, ungkapan Imam Syafi’e, dapat disimpulkan bahawa Ahlul Kitab hanya terbatas pada kedua golongan saja iaitu Yahudi dan Nasrani, sementara Majusi (Zoroaster) tidak termasuk di dalamnya. Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh firman Allah: “(Kami turunkan Al-Qur’an ini) agar kamu (tidak) mengatakan bahawa, ‘Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami. dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca.” (QS Al-An’am [6]: 156).

Pada masa awal perkembangan Islam, khususnya pada masa Rasulullah s.a.w dan para sahabatnya, istilah Ahlul Kitab selalu digunakan untuk menunjuk kepada komunitas agama Yahudi dan Nasrani. Selain kedua komunitas tersebut, mereka tidak menyebutnya sebagai Ahlil Kitab. Kaum Majusi, misalnya, meskipun mereka sudah dikenali pada masa Nabi s.a.w, tetapi mereka tidak disebut sebagai Ahlul Kitab. Walaubagaimanapun, Rasulullah s.a.w pernah memperlakukan mereka seperti halnya Ahlil Kitab.

Pendapat Imam Syafi’i senada dengan para ulama besar lainnya, seperti Thabary, al-Qurthuby (w. 671 H) yang mengatakan tidak ada perbezaan bahawasannya Yahudi dan Nasrani adalah Ahlil Kitab. Pernyataan ini dipertegas juga oleh al-Baghawy (w. 516 H), Ibn Katsir (w. 774 H), dan al-Biqa’iy (w. 885 H) ketika menafsirkan QS al-Bayyinah:1, bahawa yang dimaksud Ahlul Kitab adalah Yahudi dan Nasrani.

Kajian tentang Ahlul Kitab telah menarik perhatian ramai ilmuwan Muslim, baik yang klasik maupun kontemporari. Salah satu kajian serius dilakukan oleh Dr. Muhammad Azizan Sabjan, dalam disertasinya di International Institute of Islamic Thought and Civilization—Universiti Islam Antarabangsa yang berjudul ‘The People of the Book and the People of a Dubious Bookin Islamic Religious Tradition’.

Disertasi ini juga menyimpulkan, bahawa istilah Ahlul Kitab (the people of the book) pada komunitas pengikut agama Yahudi dan Nasrani. Golongan ini ada dua jenis, yakni ‘true believers’ yang sejatinya adalah Muslim, kerana mereka mengimani kenabian Muhammad saw saat dakwah Nabi saw sampai pada mereka. Golongan lain adalah ‘misbelievers’. Inilah yang masuk kategori Ahlul Kitab.

“As stressed by al-Ghazali, they are those of the Jews and Christians who are exercising corrupted form of religions.” (***)